PRASASTI KAWALI
Aksara (Ikon Sunda): Batu Tapak Anggana (PANGRUHUM RAHIYANG WASTU KANCANA)
Wijaksara Bhaga Sunda
“Bati Peureu Tinggal nu Atis Tina Rasa
Pakena Keureuta Bener
Pakena Gawe Rahayu
Pakeun Nanjeur na Juritan
Pakeun Heubeul Jaya dina Buana
Haywa Diponah-Ponah
Haywa Dicawuh-Cawuh
Bhaga Neker Bhaga Angger
Bhaga Nincak Bhaga Rempag..”
Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharmma Mangrwa Manggala
Esensi Ajaran Sunda Prabu Raja Wastukancana “Prabu Wangisutah” di Situs Kawali
Prasasti I (bagian depan/ muka)
1. nihan tapa(k) wa
2. las nu siya mulia tapa bha
3. ga parebu raja wastu
4. mangadeg di kuta kawa
5. li nu mahayu na kadatuan
6. surawisesa nu marigi sa
7. kuliling dayeuh nu najur sakala
8. desa aya ma nu pa(n)deu ri pakena
9. gawe rahhayu pakeun heubeul ja-
10. ya dina buana
pinggiran/tepian
1. hayua diponah-ponah (jangan dimusnahkan !)
2. hayua dicawuh-cawuh (jangan semena-menakan!)
3. bhaga neker baga a(n)ger (bhaga dihormati baga tetap)
4. bhaga ni(n)cak baga rempag (bhaga diinjak baga roboh)
Prasasti II.
1. aya ma
2. nu ngeusi bha
3. ga kawali ba
4. ni[/ri] pakena keu
5. reuta bener
6. pakeun nanjeur
7. na juritan
Prasasti Kawali III
1. bati peuree ti (ng)
2. gal nu atis
3. tina rasa aya ma nu
4. ngeusi dayeuh baweu
5. ulah botoh bisi
6. kokoro
Prasasti IV : Batu Tapak “Anggana”
Batu “bersegi lima” bergores kotak 45 > 5 kotak disusun vertikal (dari atas kebawah) dan 9 kotak disusun horizontal (dari kiri ke kanan, di bagian luar kotak itu (sebelah kanan) terdapat cap tangan kiri, sepasang telapak kaki dan sebaris prasasti pendek berbunyi (anggana)
BATU TAPAK ANGGANA inilah yang merupakan INTI PEMAHAMAN ATAS PERILAKU MANUSIA DI DUNIA. Manusia yang mengkonisi kepada alamnya sesuai hakekat AJARAN SUNDA yang senantiasa menknkan kepada ORISINALITAS manusia sebagai makhluk idup yangtereduks...i dan terintegrasi di dalam alam dan akhirnya kembali menyatu kepada alam "MAYANG SAGARA PAMULANGAN"
Batu TAPAK ANGGANA juga adalah yang sebenar-benarnya merupakan POLA DENAH SITUS KAWALI itu sendiri sebagai YANTRA dan Brahmasthana, maka dapat dikatakan bahwa teras (meskipun nampak sangat tipis perbedaannya jika tidak dipelotin benar2) situs Kawali berjumlah lima teras. Teras ke 4 dan ke 5 yang terletak sesudah teras ke-3 ... hilang lenyap terjahamnkan PAGAR KELILING buatan PEMDA ..... karena ketika dilakukan pemugaran tidak berpataoka pada konsep ajaran SUNDA ...
Prasasti V : Lingga Panyandungan
1. sanghiyang ling
2. ga hiyang
Prasasti VI: Lingga Panyandaan
1. sanghiyang ling
2. ga bingba
Aslinya cuman artefak tunggal.. di buat seperti makam dengan memberi potongan prasasti kecil di sekitar situ sungguh disayangkan...
Situs Kawali merupakan Tapak Walas Yang Mulia Prebu Raja Wastu yang bertahta di Galuh dengan pusat kerajaan di Kawali, kadatuannya ber-nama Surawisesa. Prebu Raja Wastu adalah Prabu Wangisutah alias Rahiyang Wastukancana (Siliwangi II). Prasasti-prasastinya digoreskan pada enam batu (mengambil bentuk alami), menitipkan kepada generasi sesudahnya (nu pandeuri), agar Kawali tetap terjaga, tidak dirusak atau diperlakukan semena-mena sebab merupakan jejaknya bertapa (tapak walas). Akan tetapi bagi generasi sesudahnya yang berkehendak mengikuti jejak pengalaman keagamaan yang ditempuhnya dengan menerapkan dan berada pada jalan kebenaran (pakena keureuta bener) agar bertahan dan menang di dalam menghadapi cobaan dunia (pakena gawe rahhayu pakeun nanjeur na juritan, pakeun heubeul jaya dina buana).
Ditunjukkan Batu Tapak “Anggana” Batu bersegi lima bergores gambar kotak 45 > 5 kotak disusun vertikal (dari atas kebawah) dan 9 kotak disusun horizontal (dari kiri ke kanan, di bagian luar kotak itu (sebelah kanan) terdapat cap tangan kiri, sepasang telapak kaki dan prasasti pendek berbunyi (anggana)
Anggana adalah tubuh manusia itu sebagai mahluk ganda terdiri dari badan kasar (waruga) dan badan halus (raraga) .dan segenap perangkat nya yakni naluri pengenal, akal, perasaan dan rasa keakuan (ego) yang disebut Indriya yakni pancabudhi indriya (pendengar, perasa, penglihat, pengecap dan pencium); dan pancakarma indriya (penggerak > mulut, tangan, kaki, bhaga dan purusa).
Dalam Sewa ka Darma (karyasastra Sunda Kuno), anggana (manusia) disebut “kota dengan sembilan gerbang” (bayu sasanga).
Maka kotak yang disusun vertikal (atas-bawah) berjumlah lima adalah reduksi Indriya dan kotak disusun horizontal (kiri-kanan) organ pelepasannya (cungap); bagian luar kotak (kanan) terdapat cap tangan kiri, sepasang telapak kaki adalah pola posisi. Yang mengharuskan berposisi jongkok “cingogo” - “ nagog” berhadapan langsung dengan 5 x 9 tersebut. Posisi dimana seseorang tengah menekuni diri “ngeunteung ka diri” atau introspeksi terhadap diri sendiri “nekeran bhaga”.
Bhaga adalah genital lambang rahim wanita atau rahim ibu > simbol kesuburan. Ke dalam pengertian adalah tanah tumpah darah, darimana seseorang berasal dan dilahirkan dan kembali ke pangkuannya > pertiwi atau buana, senarai dengan istilah Kawali itu sendiri.
Bhaga di situs Kawali dilambangkan oleh bentuk batu pangeunteungan (di sebelah tenggara Lingga Panyandaan), berupa Terdiri dari menhir alami dengan posisi agak melengkung seakan sengaja melindungi batu “batu pangeunteungan” yang berpenampang persegi dengan permukaan datar pada bagian tengahnya berlubang segitiga dan selalu terisi air “paragi ngeunteung (tempat berkaca).
Seluruhnya merupakan esensi ajaran Prabu Wangisutah yakni Sunda nu Wiwitan berintikan penyatuan diri kepada Hiyang (leluhur,) digoreskan pada prasasti V “lingga Panyandungan (tonggak pemersatu) dengan bati peureu tinggal nu atis tina rasa digoreskan pada prasasti III.
Bati Peureu Tinggal Nu Atis Tina Rasa layaknya melepas kotoran, karat pada besi, mengendapkan lumpur, lanau ke dasar sungai-danau, air yang semula keruh perlahan-lahan naik ke permukaan, kian lama kian jernih – bening – tawar tanpa rasa, perlambang seseorang di dalam proses membersihkan diri dengan cara mengupas kotoran tubuh baik tubuh luar (waruga) hingga ke bagian dalam (raraga) hingga ke hakekat aci nu wening- yang sejati -manah- rarasa.
Proses peristiwa pertemuan dengan junjungannya dilambangkan Batu Junjung, Batu Kursi – Pelinggih sebagai simbol tahta kehadiran Hiyang (Leluhur). Bersatunya diri dengan hiyang dilambangkan menhir (tonggak batu) Panyandungan “Sanghiyang Lingga Hiyang” Hiyang adalah unsur yang tanpa wujud - supranatural – tidak dapat dilihat dengan mata telanjang melainkan melalui rasa yang telah atis “teu naon-naon kunaon-naon”
Manusia sebagai makhluk ganda manusia memiliki keterbatasan, oleh karena itu Prebu Raja Wastu[kancana]= Prabu Wangisutah= Siliwangi II menghadirkan Batu Tapak “Anggana”.
Batu Tapak Anggana merupakan petunjuk utama proses penempaan dan pengembalian diri manusia sesuai kodrat-iradat berintikan kepada organ pancaindriya adalah substansi anggana (waruga dan raraga). Itu sebabnya pola denah kabuyutan Kawali juga terdiri dari lima teras konsentris tiada lain adalah simbol Mandala Sunda nu Wiwitan yakni Tri Tangtu di Bumi direalisasi kan dengan memahami dan menghayati serta merealisasikan Bayu-Sabda-Hedap.
Demikian, sebelum seseorang memahami yang tiada terbatas harus dimulai dengan yang terbatas, sehingga lambat laun, secara bertahap pengabdiannya kepada yang terbatas menuju tahap yang lebih tinggi, dengan cara konsentrasi – introspeksi diri. Di dalam mengkonsentrasikan diri dan fikiran terhadap sesuatu yang terbatas diperlukan objek yang dapat ditangkap, dibuat sarana konkrit yang berfungsi sebagai media (wimba= bingba) untuk membayangkan sekaligus meresapi unsur yang tiada terbatas itu, yang dalam hal ini adalah Hiyang.
konsentrasi menuju kepada yang tiada terbatas itu disimbolkan oleh Batu Lingga Panyandaan (prasasti VI). Selaras maksud, tujuan dan fungsinya, tulisan yang dipahatkan berbunyi Sanghiyang Lingga Bingba. Dimaksud-kan bingba adalah lafal dialek Sunda untuk menyebut Wimba (nyata, konkrit, arca) yakni perwujudan hiyang dina buana .
Hiyang- Sanghiyang adalah YANG TERTINGGI dalam tataran keyakinan Sunda Wiwitan yang berwujud abstrak, universil dan mengatasi segalanya, penguasa alam dan jagat semesta raya. Selaras kenyataannya, Kawali sesungguhnya kabuyutan Sunda Wiwitan yang sarat kandungan esensi ajaran Sunda Wiwitan. Seluruh simbol yang dihadirkan ditata pada lahan sesuai kondisi kadar lingkungan Urang Sunda, alami, sama sekali tiada kesan merusak apalagi mengeksploitasi, melainkan mengkondisi menyesuaikan diri kepada alam. Senarai hakekat ajarannya selalu menekankan kepada orisinalitas manusia sebagai makhluk hidup yang tereduksi dan terintegrasi dengan wajar di dalam alam dan kembali kepada alam.
Hubungan Sanghiyang Lingga Hiyang (Lingga Panyandungan) dan Sang-hiyang Lingga Bingba (Lingga Panyandaan) adalah simbol tonggak yang hendak konsentrasi terhadap Sang Maha tinggi, totalitas, yang menurut tataran Sunda Wiwitan adalah leluhur, Rumuhun, Karuhun yakni Hiyang. Dua-duanya dihadirkan bukan untuk disembah bendanya, melainkan disiap-kan oleh Rahiyang Wastukancana sesuai esensi ajaran Sunda Wiwitan untuk membantu diri dan fikiran terkonsentrasi kepada makna tertinggi.
Konsep Tri Tangtu terdapat di dalam Kropak 630 (XXVI):
“Ini tri tangu di bumi, bayu kita pinaka prebu, sabda pinaka rama, hedap kita pinaka resi; ya tri tangtu di bumi, ya kangken pineguh ning bwana ngaranna” (=Inilah tiga Tangtu di bumi, wibawa kita seperti raja, ucap kita seperti rama, tekad kita seperti resi, tri tangtu di bumi sebagai peneguh dunia”
Senarai dengan Kropak 632 (Lembar III) yang menyebutkan:
“jagat daranan di sang rama, jagat kreta di sang resi, jagat palangka di sang prabu” (= semesta bimbingan tanggungjawab sang rama, semesta kesejahteraan tanggung jawab sang resi, semesta tahta tanggungjawab sang raja/prabhu).
Bagi kesejahteraan Urang Sunda dan urangreya khusus berkehendak nanjeur na juritan dan jaya dina buana dengan menerapkan pakena keureuta bener pakena gawe rahhayu, maka Prabu Wangisutah menghadirkan dan mencerita kan pengalamannya di Kabuyutan Kawali.
Lalu Mengapa Goong Pajajaran Ada catatan dari Zyathea (KiSunda@ yahoogroups.com (2008) yang patut disimak:
“..... Pajajaran bagi masyarakat Sunda, diakui sebagai simbol persatuan ketika kemelut perpecahan melanda Jawa Barat. Perang saudara, dari kerajaan Sunda dan kerajaan Galuh, melahirkan semangat bersatu dalam kedamaian. Kemasyhuran Pajajaran tetap dipertahan-kan oleh masyarakat tradisional yang hidup pasca keruntuhannya, dan tercatat dalam kemasan tradisi-tradisi yang berkembang dalam sebuah kebudayaan Sunda.
PANTUN merupakan kemasan yang berasal dari refleksi kearifan para genius local Sunda untuk mempertahankan khazanah kebudayaannya. Dari berbagai cerita dalam Pantun Sunda, hampir seluruh tokoh cerita terpusat pada garis keturunan kerajaan Pajajaran. Jika dikaji lebih seksama, para pembuat pantun tempo dulu merangkai alur sejarah yang berasal dari kemasyhuran etnisnya sebagai satu bentuk jati diri kebudayaan. Maka lewat tradisi lisan, lahirlah di daerah Priangan berbagai Pantun yang menjadi warisan kebudayaan dari generasi ke generasi.
Seperti dalam kisah Pantun Budak Manyor. Terdapat tokoh Ratu Sungging Gilang Mantra Sekesengeh Ranggalawe Aria Mangku Nagara, disingkat Ratu Sungging. Kemunculannya dalam cerita, merupakan simbol dari teraturnya kembali semua unsur chaos dan kejayaan pada garis keturunan Pajajaran.
Dalam Pantun ini dikisahkan tentang Agan Sumur Agung, seorang perempuan dengan wajah cantik jelita dari Nagara Kuta Tandingan. Kecantikan sang Putri telah menyebar ke setiap penjuru Priangan. Kabar angin ini menjadi bahan pembicaraan para pangeran dari berbagai kerajaan. Maka mereka pun datang bergiliran hendak meminang sang Idaman.
Di mulai dari Nagara Kuta Salaka, Kuta Pandak, dan Kadu Pandak. Tetapi sayangnya cinta mereka tertolak dengan syarat-syarat dari sang Putri. Untuk menikahinya, mereka terlebih dahulu harus bertapa selama tujuh tahun lamanya di bawah Kiara Jingkang Dopang Malang. Syarat tersebut sungguh sangat berat bagi mereka. Cinta pun tak berbalas.
Dengan kecewa hati mereka mengingkari kecantikan dan kebaikan Agan Sumur Agung, dan bersumpah bahwa siapa pun yang akhirnya berhasil meminangnya akan mereka perangi. Nasib berkata lain bagi Nagara Dayeuh Manggung Pasanggrahan Wetan. Putra Mahkota Kuda Pamengkas sanggup melaksana kan syarat pinangan sang Pujaan. Dia segera mencari pohon tersebut dan melakukan laku tapa tujuh lamanya.
Di bagian inilah empunya Pantun mulai melakukan strateginya untuk Pajajaran. Kedatangan Putra Mahkota Pajajaran mengubah keadaan. Kecantikan Agan Sumur Bandung menggelapkan mata Ratu Sungging. Dia tidak menghiraukan orang tuanya yang melarang melaksanakan niatan Ratu Sungging karena dia telah mendapatkan calon pendamping hidupnya.
Cinta itu buta! Demikian pula yang menimpa pemuda ini. Dia segera keluar kerajaan. Melewati gunung dan lembah bebukitan sampai akhirnya sampai di sebuah pinggiran sungai. Itu tak jadi halangan. Dia segera membuat perahu. Tetapi naas, arus sungai yang besar menghancurkan perahunya, dan Ratu Sungging pingsan tak berdaya. Dengan perantara Budak Manyor, Sunan Ambu yang mengetahui kejadian tersebut segera menolongnya hingga dapat menikahi Agan Sumur Agung.
Berita pernikahan ini sampai pada para pangeran yang terikat sumpah. Maka Nagara Kuta Tandingan yang telah dipimpin oleh keturunan Pajajaran diserang berurutan. Sampai akhirnya mereka tak kuasa menyerang, dan menyerahkan kekuasaannya untuk mengabdi pada Ratu Sungging. Mengetahui peristiwa tersebut, Raja dan Permaisuri dari
Dayeuh Manggung Pasanggrahan Wetan segera membangunkan Kuda Pamekas karena Putri Kuta Tandingan telah melanggar janji. Kuda Pamekas kecewa atas keputusan itu, maka pasukannya segera menyerang Kuta Tandingan. Tapi dia tak berhasil dan mengaku kalah, disertai dengan penyerahan kekuasaannya untuk mengabdi, melindungi Kuta Tandingan.
Dalam kisah ini, empunya cerita Pantun Budak Manyor menggunakan pola papat kalima pancer dalam mempertahankan kekuasaan keturunan Pajajaran di kerajaan lain. Pola ini sering terdapat pula pada sebagian tradisi, prilaku, dan cara ritual masyarakat tradisional, khususnya dalam hal sakralitas tradisi Sunda.
Kuta Salaka, Kuta Pandak, dan Dayeuh Manggung Pasanggrahan Wetan adalah pola papat (empat). Sedangkan Kuta Tandingan merupakan yang kelima, sebagai pancer atau pusat, sebab sebelumnya akan dikuasai oleh Kuda Pamekas. Kedatangan Ratu Sungging menguatkan alasan bahwa Pantun digunakan sebagai salah satu strategi Sunda Buhun dalam mempertahankan sejarah kesundaannya, yang disandarkan pada eksistensi Pajajaran di setiap alur Pantun.
Pajajaran bukanlah Wetan, Pajajaran adalah Kulon. Penggagalan kekuasaan Pasanggrahan Wetan sebagai Pancer, digantikan dengan adanya tokoh dari garis keturunan Pajajaran. Maka Pancernya adalah Ratu Sunging, Raja Kuta Tandingan. Selain itu, keberpihakan Sunan Ambu melalui perantara Budak Manyor yang merupakan simbol dari Dunia Atas (tokoh suci), menekankan bahwa penghubung dengan Dunia Atas –axis mundi- adalah segala hal yang berkaitan dengan Pajajaran. .. “
“Pajajaran yang layak disebut Pancer”.
Mengabadikan kemasyhuran sejarah kesundaan melalui Pantun merupakan salah satu produk genius local Sunda Buhun. Melalui tradisi ini, sejarah dan kearifan Sunda pun terjaga dan diharapkan sampai pada generasi muda di suatu zaman nanti. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pantun pun akan tetap lestari, dan mungkin bisa dipelajari sebagai gambaran perikehidupan orang Sunda sebelum kena dampak globalisasi. Ki Sunda baheula mungkin tak tahu arti globalisasi, tetapi kekhawatiran mengikisnya eksistensi dan jati diri urang Sunda sangat mereka sadari. Maka terciptalah Pantun sebagai salah satu strategi.
Jika masyarakat Sunda ratusan tahun lalu mampu melestarikan sejarah melalui Pantun, maka bagaimanakah cara orang Sunda kiwari mengusung eksistensi kesundaannya. Jati kasilih ku junti! Peribahasa yang lahir dari kearifan Sunda dan mungkin diingkari ketika telah menjadi realita. Eksistensi orang Sunda harus tetap bertahan dari segala godaan zaman.
Senarai Trowulan – Trisasih adalah juga Tri Tangtu – Triumvirat secara politik juga berpadunya ragam keyakinan sesuai konsep Bhinneka Tunggal Ika - Tan Hana Dharmma Mangrwa. Sedangkan Bali yang terletak di paling timur adalah semesta Prabhu, Trowulan (Pura Krembung) adalah jembatan (Sunda: rawayan) Jawa Tengah dan Jawa Timur adalah semesta Sang Resi, dan Tatar Sunda adalah semesta Sang Rama.
Maka penyatuan ke dalam kesatuan yang satu Kangken Pineguh ning Bwana. Semuanya menjadi simbol dalam semboyan yang dibunyikan dan diumumkan layaknya Goong Pajajaran, uganing Lugay Pajajaran, semesta kepribadian Nusantara Raya.
Kebangkitan landasan budaya Sang Rumuhun Sang Pemilik Tumpah darah pertiwi (Bhaga) Nusantara Raya. Layaknya Sang IBU sebagai personifikasi tanah yang melahirkan segala yang ada di dunia
Goong Pajajaran dan Goong Bali adalah simbol kebangkitan Rumuhun yang berlandaskan konsep bahwa segala sesuatu yang ada di jagat semesta ini akan kembali kandungan IBU. Aspek Yang Mencipta yang di situs Kawali disimbolkan dengan sikap jongkok (sikap melahirkan); bagian genital yang dilambangkan bentuik segitiga (Pangeunteungan adalah Tri Tangtu di Bumi yang juga adalah Bayu Sabda Hedap). Lambang Sunda - kembali ke pangkuan Ibu “Mayang Sagara Pamulangan’, namun samasekali bukan harus diartikan meninggal melainkan kembali kepada konsep pemahaman atas keyakinan asli pribumi Nusantara RAYA.
Hiyang- Sanghiyang adalah YANG TERTINGGI dalam tataran keyakinan Sunda Wiwitan yang berwujud abstrak, universil dan mengatasi segalanya, penguasa alam dan jagat semesta raya. Selaras kenyataannya, Kawali sesungguhnya kabuyutan Sunda Wiwitan yang sarat kandungan esensi ajaran Sunda Wiwitan. Seluruh simbol yang dihadirkan ditata pada lahan sesuai kondisi kadar lingkungan Urang Sunda, alami, sama sekali tiada kesan merusak apalagi mengeksploitasi, melainkan mengkondisi menyesuaikan diri kepada alam. Senarai hakekat ajarannya selalu menekankan kepada orisinalitas manusia sebagai makhluk hidup yang tereduksi dan terintegrasi dengan wajar di dalam alam dan kembali kepada alam.
Hubungan Sanghiyang Lingga Hiyang (Lingga Panyandungan) dan Sang-hiyang Lingga Bingba (Lingga Panyandaan) adalah simbol tonggak yang hendak konsentrasi terhadap Sang Maha tinggi, totalitas, yang menurut tataran Sunda Wiwitan adalah leluhur, Rumuhun, Karuhun yakni Hiyang. Dua-duanya dihadirkan bukan untuk disembah bendanya, melainkan disiap-kan oleh Rahiyang Wastukancana sesuai esensi ajaran Sunda Wiwitan untuk membantu diri dan fikiran terkonsentrasi kepada makna tertinggi.
Konsep Tri Tangtu terdapat di dalam Kropak 630 (XXVI):
“Ini tri tangu di bumi, bayu kita pinaka prebu, sabda pinaka rama, hedap kita pinaka resi; ya tri tangtu di bumi, ya kangken pineguh ning bwana ngaranna” (=Inilah tiga Tangtu di bumi, wibawa kita seperti raja, ucap kita seperti rama, tekad kita seperti resi, tri tangtu di bumi sebagai peneguh dunia”
Senarai dengan Kropak 632 (Lembar III) yang menyebutkan:
“jagat daranan di sang rama, jagat kreta di sang resi, jagat palangka di sang prabu” (= semesta bimbingan tanggungjawab sang rama, semesta kesejahteraan tanggung jawab sang resi, semesta tahta tanggungjawab sang raja/prabhu).
Bagi kesejahteraan Urang Sunda dan urangreya khusus berkehendak nanjeur na juritan dan jaya dina buana dengan menerapkan pakena keureuta bener pakena gawe rahhayu, maka Prabu Wangisutah menghadirkan dan mencerita kan pengalamannya di Kabuyutan Kawali.
Lalu Mengapa Goong Pajajaran Ada catatan dari Zyathea (KiSunda@ yahoogroups.com (2008) yang patut disimak:
“..... Pajajaran bagi masyarakat Sunda, diakui sebagai simbol persatuan ketika kemelut perpecahan melanda Jawa Barat. Perang saudara, dari kerajaan Sunda dan kerajaan Galuh, melahirkan semangat bersatu dalam kedamaian. Kemasyhuran Pajajaran tetap dipertahan-kan oleh masyarakat tradisional yang hidup pasca keruntuhannya, dan tercatat dalam kemasan tradisi-tradisi yang berkembang dalam sebuah kebudayaan Sunda.
PANTUN merupakan kemasan yang berasal dari refleksi kearifan para genius local Sunda untuk mempertahankan khazanah kebudayaannya. Dari berbagai cerita dalam Pantun Sunda, hampir seluruh tokoh cerita terpusat pada garis keturunan kerajaan Pajajaran. Jika dikaji lebih seksama, para pembuat pantun tempo dulu merangkai alur sejarah yang berasal dari kemasyhuran etnisnya sebagai satu bentuk jati diri kebudayaan. Maka lewat tradisi lisan, lahirlah di daerah Priangan berbagai Pantun yang menjadi warisan kebudayaan dari generasi ke generasi.
Seperti dalam kisah Pantun Budak Manyor. Terdapat tokoh Ratu Sungging Gilang Mantra Sekesengeh Ranggalawe Aria Mangku Nagara, disingkat Ratu Sungging. Kemunculannya dalam cerita, merupakan simbol dari teraturnya kembali semua unsur chaos dan kejayaan pada garis keturunan Pajajaran.
Dalam Pantun ini dikisahkan tentang Agan Sumur Agung, seorang perempuan dengan wajah cantik jelita dari Nagara Kuta Tandingan. Kecantikan sang Putri telah menyebar ke setiap penjuru Priangan. Kabar angin ini menjadi bahan pembicaraan para pangeran dari berbagai kerajaan. Maka mereka pun datang bergiliran hendak meminang sang Idaman.
Di mulai dari Nagara Kuta Salaka, Kuta Pandak, dan Kadu Pandak. Tetapi sayangnya cinta mereka tertolak dengan syarat-syarat dari sang Putri. Untuk menikahinya, mereka terlebih dahulu harus bertapa selama tujuh tahun lamanya di bawah Kiara Jingkang Dopang Malang. Syarat tersebut sungguh sangat berat bagi mereka. Cinta pun tak berbalas.
Dengan kecewa hati mereka mengingkari kecantikan dan kebaikan Agan Sumur Agung, dan bersumpah bahwa siapa pun yang akhirnya berhasil meminangnya akan mereka perangi. Nasib berkata lain bagi Nagara Dayeuh Manggung Pasanggrahan Wetan. Putra Mahkota Kuda Pamengkas sanggup melaksana kan syarat pinangan sang Pujaan. Dia segera mencari pohon tersebut dan melakukan laku tapa tujuh lamanya.
Di bagian inilah empunya Pantun mulai melakukan strateginya untuk Pajajaran. Kedatangan Putra Mahkota Pajajaran mengubah keadaan. Kecantikan Agan Sumur Bandung menggelapkan mata Ratu Sungging. Dia tidak menghiraukan orang tuanya yang melarang melaksanakan niatan Ratu Sungging karena dia telah mendapatkan calon pendamping hidupnya.
Cinta itu buta! Demikian pula yang menimpa pemuda ini. Dia segera keluar kerajaan. Melewati gunung dan lembah bebukitan sampai akhirnya sampai di sebuah pinggiran sungai. Itu tak jadi halangan. Dia segera membuat perahu. Tetapi naas, arus sungai yang besar menghancurkan perahunya, dan Ratu Sungging pingsan tak berdaya. Dengan perantara Budak Manyor, Sunan Ambu yang mengetahui kejadian tersebut segera menolongnya hingga dapat menikahi Agan Sumur Agung.
Berita pernikahan ini sampai pada para pangeran yang terikat sumpah. Maka Nagara Kuta Tandingan yang telah dipimpin oleh keturunan Pajajaran diserang berurutan. Sampai akhirnya mereka tak kuasa menyerang, dan menyerahkan kekuasaannya untuk mengabdi pada Ratu Sungging. Mengetahui peristiwa tersebut, Raja dan Permaisuri dari
Dayeuh Manggung Pasanggrahan Wetan segera membangunkan Kuda Pamekas karena Putri Kuta Tandingan telah melanggar janji. Kuda Pamekas kecewa atas keputusan itu, maka pasukannya segera menyerang Kuta Tandingan. Tapi dia tak berhasil dan mengaku kalah, disertai dengan penyerahan kekuasaannya untuk mengabdi, melindungi Kuta Tandingan.
Dalam kisah ini, empunya cerita Pantun Budak Manyor menggunakan pola papat kalima pancer dalam mempertahankan kekuasaan keturunan Pajajaran di kerajaan lain. Pola ini sering terdapat pula pada sebagian tradisi, prilaku, dan cara ritual masyarakat tradisional, khususnya dalam hal sakralitas tradisi Sunda.
Kuta Salaka, Kuta Pandak, dan Dayeuh Manggung Pasanggrahan Wetan adalah pola papat (empat). Sedangkan Kuta Tandingan merupakan yang kelima, sebagai pancer atau pusat, sebab sebelumnya akan dikuasai oleh Kuda Pamekas. Kedatangan Ratu Sungging menguatkan alasan bahwa Pantun digunakan sebagai salah satu strategi Sunda Buhun dalam mempertahankan sejarah kesundaannya, yang disandarkan pada eksistensi Pajajaran di setiap alur Pantun.
Pajajaran bukanlah Wetan, Pajajaran adalah Kulon. Penggagalan kekuasaan Pasanggrahan Wetan sebagai Pancer, digantikan dengan adanya tokoh dari garis keturunan Pajajaran. Maka Pancernya adalah Ratu Sunging, Raja Kuta Tandingan. Selain itu, keberpihakan Sunan Ambu melalui perantara Budak Manyor yang merupakan simbol dari Dunia Atas (tokoh suci), menekankan bahwa penghubung dengan Dunia Atas –axis mundi- adalah segala hal yang berkaitan dengan Pajajaran. .. “
“Pajajaran yang layak disebut Pancer”.
Mengabadikan kemasyhuran sejarah kesundaan melalui Pantun merupakan salah satu produk genius local Sunda Buhun. Melalui tradisi ini, sejarah dan kearifan Sunda pun terjaga dan diharapkan sampai pada generasi muda di suatu zaman nanti. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pantun pun akan tetap lestari, dan mungkin bisa dipelajari sebagai gambaran perikehidupan orang Sunda sebelum kena dampak globalisasi. Ki Sunda baheula mungkin tak tahu arti globalisasi, tetapi kekhawatiran mengikisnya eksistensi dan jati diri urang Sunda sangat mereka sadari. Maka terciptalah Pantun sebagai salah satu strategi.
Jika masyarakat Sunda ratusan tahun lalu mampu melestarikan sejarah melalui Pantun, maka bagaimanakah cara orang Sunda kiwari mengusung eksistensi kesundaannya. Jati kasilih ku junti! Peribahasa yang lahir dari kearifan Sunda dan mungkin diingkari ketika telah menjadi realita. Eksistensi orang Sunda harus tetap bertahan dari segala godaan zaman.
Senarai Trowulan – Trisasih adalah juga Tri Tangtu – Triumvirat secara politik juga berpadunya ragam keyakinan sesuai konsep Bhinneka Tunggal Ika - Tan Hana Dharmma Mangrwa. Sedangkan Bali yang terletak di paling timur adalah semesta Prabhu, Trowulan (Pura Krembung) adalah jembatan (Sunda: rawayan) Jawa Tengah dan Jawa Timur adalah semesta Sang Resi, dan Tatar Sunda adalah semesta Sang Rama.
Maka penyatuan ke dalam kesatuan yang satu Kangken Pineguh ning Bwana. Semuanya menjadi simbol dalam semboyan yang dibunyikan dan diumumkan layaknya Goong Pajajaran, uganing Lugay Pajajaran, semesta kepribadian Nusantara Raya.
Kebangkitan landasan budaya Sang Rumuhun Sang Pemilik Tumpah darah pertiwi (Bhaga) Nusantara Raya. Layaknya Sang IBU sebagai personifikasi tanah yang melahirkan segala yang ada di dunia
Goong Pajajaran dan Goong Bali adalah simbol kebangkitan Rumuhun yang berlandaskan konsep bahwa segala sesuatu yang ada di jagat semesta ini akan kembali kandungan IBU. Aspek Yang Mencipta yang di situs Kawali disimbolkan dengan sikap jongkok (sikap melahirkan); bagian genital yang dilambangkan bentuik segitiga (Pangeunteungan adalah Tri Tangtu di Bumi yang juga adalah Bayu Sabda Hedap). Lambang Sunda - kembali ke pangkuan Ibu “Mayang Sagara Pamulangan’, namun samasekali bukan harus diartikan meninggal melainkan kembali kepada konsep pemahaman atas keyakinan asli pribumi Nusantara RAYA.
0 komentar:
Posting Komentar
Untuk perbaikan blog dimohon untuk meninggalkan pesan dibawah ini