Kamis, 10 Juni 2010

Asal Mula Galuh

Konon kabar kata Galuh berasal dari kata Galeuh atau inti. Menurut Yoseph (2005), dari pengertian tersebut, timbul pergeseran kata menjadi hati, sebagai inti dari manusia. Dalam pengertian lain, kata Galeuh disejajarkan dengan Galih, kata halus dari beuli (beli), namun menurut Purbacaraka mengartikan Galuh sebagai permata. Lain halnya menurut Van Deur Mulen. Galuh sama artinya dengan yang dipahami dalam bahasa tagalog, yakni ‘air’. Galuh berasal kata dari Saka lo atau Sagaluh (hal. 96).

Leluhur Raja-raja Galuh
Kisah Kendan dan Galuh diriwayatkan dalam Naskah Carita Parahyangan dan Naskah Wangsakerta, Jika saja dikaji lebih jauh dan teliti, Carita Parahyangan menjelaskan sejarah yang sebelumya gelap, seperti kisah Sanjaya, yang prasastinya ditemukan di Canggal Carita Parahyangan memiliki uraian yang hampir sama dengan Naskah-naskah Wangsakerta, sehingga para ahli sejarah menganggap Naskah Wangsakerta berasal dari sumber yang sama, yakni Pararatwan Parahyangan. Namun karena rentan waktu penyusunannya dianggap terlalu jauh dari masanya, yakni pada abad ke 16, maka Carita Parahyangan dianggap data sekunder.

Sejarah ditatar sunda yang disampaikan secara lisan lebih hidup dan beragam. Sayangnya masyarakat tradisional masih banyak yang menganggap tabu untuk menceritakan sejarah karuhunnya dengan alasan “pamali” – “teu wasa”. Mungkin dahulu ditujukan agar tidak menyinggung perasaan yang kebetulan karuhunnya terceritakan negatif, atau semacam takut membuka aib atas cerita yang dianggapnya tidak lumrah. Dalam masa selanjutnya istilah tabu bukan lagi berasal dari teu wasa, melainkan takut dicemoohkan sebagai “mamake payung butut”, masalah inilah yang ikut menghambat tutur tinular terhadap perjalanan dimasa lalu.

Kisah karuhun Galuh di dalam kesejarahannya yang pernah menjadi rahasia umum adalah Mandiminyak dan Tamperan. Cerita Mandiminyak dianggap tidak lazim karena berhubungan dengan Rabbabu, istri Sempakwaja, kakaknya, hingga melahirkan Bratasenawa. Demikian pula cerita Tamperan yang dianggap aib setelah berhubungan dengan Dewi Pangrenyep, istri Permana Dikusumah. Tetapi hukum dan realitas penyusunan sejarah modern memerlukan data formal. Mungkin alasan ini pula yang berakibat urang sunda tidak memiliki data sejarah, sehingga dianggapnya kurang bersejarah.

Carita Parahyangan menjelaskan ranji Kendan dan Galuh. Sang Resiguru berputra Rajaputra, Rajaputra beranak Sang Kandiawan dan Sang Kandiawati. Sang Kandiawan menamakan dirinya Rahyangta Dewaraja. Waktu ia menjadi rajaresi ia menamakan dirinya Rahyang ta di Medang Jati, yaitu Sang Layuwatang. Kemudian Sang Kandiawan berputra lima orang, yaitu Sang Mangukuhan, Sang Karungkalah, sang Katung maralah, Sang Sandanggreba dan Wretikandayun. Namun yang ditunjuk menggantikan Sang Kandiawan adalah Wretikandayun.

Sang Manikmaya pertama kali menjalankan kegiatan pemerintahannya didaerah Kendan, ia sekaligus bertindak menjadi Rajaresi. Sepeninggalnya ia digantikan oleh Sang Suralim, putranya yang memerintah di Kendan. Sang Suralim sebelumnya menjadi senapati di Tarumanagara, maka ia lebih dikenal sebagai Panglima perang yang tangguh. Dari sejarah Suralim tersebut, masalah kegiatan agama nampaknya tidak merupakan faktor yang sangat penting, sehingga merasa tidak perlu untuk memindahkan pusat pemerintahannya.

Sang Suralim memiliki putra dan putri, yakni Kandiawan dan Kandiawati. Sang Kandiawan kemudian di jadikan penguasa di Medang Jati. Didalam Carita Parhyangan ia disebut juga Rahiyangan di Medang Jati, ia pun bergelar Rajaresi Dewaraja. Ketika menerima warisan tahta dari ayahnya ia tidak lantas pindah ke Kendan, melainkan tetap menjalan pemerintahannya di Medang Jati.

Menurut buku penelusuran masa silam sejarah Jawa Barat (1983 – 1984), alasan Kandiawan menetap di Medang Jati sangat terkait dengan keagamaan. Di Kendan waktu itu sudah mulai banyak para penyembah Syiwa, sedangkan ia penyembah Wisnu.

Sang Kandiawan memiliki 5 orang putra, yakni Mangukuhan, Karungkalah, Katungmaralah, Sandangreba dan Wretikandayun. Suatu hal yang masih sulit dicari alasannya adalah mengapa Sang Kandiawan mewariskan tahtanya kepada Wretikandayun, putra bungsunya. Alasan ini menurut carita Parahyangan disebabkan berhasil menombak kebowulan, mungkin maksud penulis Carita Parahyangan menceritakan adanya sayembara diantara lima bersaudara tersebut. Namun mengingat penulis Carita Parahyangan sangat irit mengisahkan suatu masalah, maka ia ditulis demikian.

Hal yang paling mendekati terhadap masal ini adalah kemungkinan adanya alasan yang terkait dengan masalah keagamaan. Pemegang kekuasaan dalam tradisi kendan biasanya dipegang oleh seorang rajaresi. Dari kelima palaputra Sang Kandiawan yang memenuhi syarat sebagai raja resi hanyalah Wretikandayun.

Tentang Keturunan Kandiawan yang diuraikan dalam Cerita Parahyangan,diterjemaahkan oleh Atja (1968) dengan menggunakan bahasa sunda ‘Kiwari’, sebagai berikut :


Enya kieu Carita Parahiyangan teh.


Sang Resi Guru boga anak Rajaputra. Rajaputra boga anak Sang Kandiawan jeung Sang Kandiawati, duaan adi lanceuk. Sang Kandiawan teh nyebut dirina Rahiyangta Dewaradja.


Basa ngajalankeun kahirupan sacara rajaresi, ngalandi dirina Rahiangta di Medangjati, oge katelah Sang Lajuwatang, nya mantenna nu nyieun Sanghiang Watangageung.


Sanggeusna rarabi, nya lahir anak-anakna limaan, mangrupa titisan Sang Kusika, Sang Garga, Sang Mestri, Sang Purusa, Sang Puntandjala, nya eta: Sang Mangukuhan, Sang Karungkalah, sang Katungmaralah, Sang Sandanggreba jeung Sang Wretikandayun.


Rahiyangan di Medangjati lawasna ngadeg ratu limawelas taun. Diganti ku Sang Wretikandayun di Galuh, bari migarwa Pwah ngatak Mangalengale.


Ari Sang Mangukuhan jadi tukang ngahuma, Sang Karungkalah jadi tukang moro, Sang Katungmaralah jadi tukang nyadap sarta Sang Sandanggreba jadi padagang.


Nya ku Sang Wreti Kandayun Sang Mangukuhan dijungjung jadi Rahiangtung Kulikuli, Sang Karungkalah jadi Rahiangtang Surawulan, Sang Katungmaralah jadi Rahiyangtang Pelesawi, Sang Sandanggreba jadi Rahiangtang Rawunglangit.


Sabada Sang Wretikendayun ngadeg ratu di Galuh, nya terus ngajalankeun kahirupan sacara rajaresi sarta ngalandi dirina jadi Rahiangta di Menir. Dina waktu bumen-bumen, harita teh nya nyusun Purbatisti.

Pembentukan Galuh
Menurut Van Deur Meulen, Galuh berasal kata dari Saka Loh, hanya saja lidah orang Banyumas menyebutnya Sagaluh. Demikian pula penggunaan kata untuk suatu daerah, yang banyak menggunakan nama Galuh adalah para penduduk Jawa Tengah bagian barat, seperti Galuh Timur (Bumiayu), Galuh (Purbolinggo), Sirah Galuh (Cilacap), Sagaluh dan Sungai Begaluh (Leksono), Samigaluh (Purworejo), dan Sagaluh (Purwodadi). [Ibid]

Didalam Babad Banyumas, dijelaskan pula, sebagai berikut :


Babad Banyumas ora bisa dipisah karo sejarah Kerajaan Galuh Purba (dibangun adoh sedurung abad 5 Masehi). Kerajaan kiye dibangun nang sekitar Gunung Slamet ning bar kuwe pusat kerajaane pindah maring Garut - Kawali (abad 6-7 Masehi) mbentuk utawa ngelanjutaken pemerentahan nang Kerajaan Galuh Kawali. Kerajaan Galuh Purba kuwe dibangun pendatang sekang Kutai, Kalimantan ning sedurung agama Hindu melebu nang Kutai.


Keturunan-keturunan Kerajaan Galuh Purba kiye nerusna pemerentahan Kerajaan nang Garut - Kawali (Ciamis) sing wis duwe budaya Sunda, terus sebagian campur darah karo keturunan Kerajaan Kalingga (Jawa Tengah). Campur darah (perkawinan) kuwe juga berlanjut dong masa Kerajaan Galuh Kawali dadi Kerajaan Galuh Pajajaran sebab akeh perkawinan antara kerabat Keraton Galuh Pajajaran karo kerabat Keraton Majapahit (Jawa), lha keturunan campurane kuwe sing mbentuk Banyumas.


Babad Banyumas juga ora bisa dipisah karo sejarah Kerajaan Galuh Kawali sing wilayah kekuasaane ngeliputi lewih separo wilayah Jawa Tengah siki (kemungkinan tekan Kedu lan Purwodadi), dadi termasuk juga wilayah Banyumasan.


Babad Banyumas juga ora bisa dipisah sekang pribadi Raden Joko Kahiman (putra Raden Banyak Cotro, putu Raden Baribin), sing duwe sifat utawa watek-watek satria.

Galuh dalam versi Banyumasan mungkin tidak mengenal eksistensi Karang Kamulyan - Ciamis, sebagai lokasi Galuh pasca Kendan, sehingga jamannya langsung melompat ke masa Kawali. Jika saja versi Banyumas digunakan sebagai acuan pokok maka sejarah Sunda Terusbawa menjadi hilang dan tidak memiliki hubungan dengan Pajajaran. Dalam hal ini kiranya perlu mempertimbangkan keberadaan Naskah Pararathon Parahyangan dengan Carita Parahyangan, kedua naskah itu lebih fokus membincangkan masalah Galuh (Parahyangan), sehingga runtutan sejarah yang sudah ditemukan dapat dikaji lebih jauh.

Galuh versi Banyumasan tentunya dapat menunjukan keberadaan tungtung Sunda sebagaimana yang ditulis Bujangga Manik, pada abad ke-16, dan lalampahan Banyak Catra di Kerajaan Pasir Luhur.

Galuh dimasa lalu digunakan untuk nama tiga kerajaan yang ada di daerah Jawa Bagian Barat. Pertama Galuh Purba (Galuh) berpusat di Ciamis. Kedua Galuh Utara (Galuh Baru – Galuh Lor – Galuh luar) berpusat di daerah Dieng. Ketiga Galuh yang berpusat di Denuh (Tasikmalaya).

Dalam Carita Parahyangan, adanya penggantian nama Kendan menjadi Galuh bukan sekedar mengganti nama ditempat dilokasi yang sama. Seperti Sunda Kalapa menjadi Jakarta, melainkan memang ada perpindahan lokasi kegiatan pemerintahan secara fisik. Dari wilayah Kendan (Cicalengka) ke Karang kamulyan. Alasan ini tentu terkait dengan efektifitas pelaksanaan pemerintahan dan kegiatan keagamaan.

Sebagaimana diuraikan diatas, Manikmaya memperoleh wilayah Kendan (cikal bakal Galuh) berikut tentara dan penduduknya dari Tarumanagara, bahkan Tarumanagara melindungi Kendan dari gangguan Negara lain. Namun pada tahun 670 M, Wretikandayun menyatakan Galuh melepaskan diri dari Sunda, kerajaan penerus Tarumanagara.

Kondisi Tarumanagara sejak masa Raja Sudawarman Raja ke-9) memang sudah kurang wibawanya dimata raja-raja daerah. Masalah ini terus berlanjut hingga para penggantinya. Setelah Linggawarman (Raja ke-12) meninggal dan tida memiliki putra Mahkota, pemerintahan diserahkan kepada menantunya, yakni Tarusbawa, raja Sundapura. Kerajaan bawahan Tarumanagara.

Tarusbawa bercita-cita mengangkat kembali kejayaan Tarumanagara seperti jaman Purnawarman (Raja ke-3) yang bersemayam di Sundapura. Keinginannya tersebut diwujudkan dengan cara ia memindahkan dan mengubah Tarumanagara menjadi Sunda, namun ia tidak memperhitungkan akibatnya terhadap negara bawahannya, yang merasa tidak lagi memiliki ikatan kesejarahan.

Pada tahun 670 M, berakhirlah kisah Tarumanagara sebagai kerajaan yang menguasai seluruh Jawa Bagian Barat, namun muncul dua kerajaan kembar. Disebelah barat Citarum menjadi kerajaan Sunda, sedangkan disebelah timur Citarum berdiri kerajaan Galuh.

Dilihat dari masa periodenya, Yoseph (2005) membagi menjadi tiga periode, yakni Galuh dapat dibagi menjadi tiga jaman. Pertama Galuh jaman pemerintahan Sempakwaja – Purbasora. Kedua Galuh jaman pemerintahan Mandiminyak – Sena. Ketiga Galuh pada masa pemerintahan Rahiyang Kidul yang selalu terancam oleh kedua pemerintahan diatas. (**).
Sumber bacaan :
Kebudayaan Sunda – Zaman Pajajaran – Jilid 2, Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung – 2005.
Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3, Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
Yoseph Iskandar. Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa), Geger Sunten, Bandung – 2005.
Tjarita Parahjangan, Drs.Atja, Jajasan Kebudayaan Nusalarang, Bandung- 1968.
wikipedia.org/Babad_Banyumas, 24 April 2010

0 komentar:

Posting Komentar

Untuk perbaikan blog dimohon untuk meninggalkan pesan dibawah ini

 

My Blog List

Site Info

Abc
DESA KERTAHAYU Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template